Rabu, 18 April 2012

SEKSUALITAS




I.           Kisah Supinah dalam kerangka pikir Dixon-Muller
Seksualitas bisa dipahami secara berbeda pada setiap orang, Dixon Muller mengembangkan kerangka pikir, yang terdiri dari 4 dimensi seksualitas dan perilaku seksual yang berbasis keadilan gender 4 dimensi seksualitas itu meliputi :
  1. Hubungan dengan pasangan seksual
Dalam kisah Supinah ini, hubungan seksual yang pernah dilakukan dengan 2 laki-laki yang berbeda, baik status sosialnya maupun dari segi usianya. Hubungan seksual yang dialami Supinah ini adanya unsur paksaan. Hubungan seksual yang dilakukan dengan Yusup, seorang senior di sekolahnya. Hubungan seks dilakukan dibawah ancaman, meskipun mereka pada saat itu sepasang kekasih sedangkan hubungan dengan babe Ali yang merupakan seorang pengusaha sukses yang mempunyai perusahaan di beberapa kota, juga merupakan sebuah paksaan yang mengharuskan ia segera menikah dengan Babe Ali yang usianya 43 tahun. Hubungan seksualitasnya dengan babe Ali juga menimbulkan trauma Supinah, ia mengeluhkan rasa sakit pada saat bersenggama. Hal ini merupakan gangguan kesehatan seksual.

  1. Tindakan Seksual
Elemen kedua ini meliputi naluri alam, frekuensi dan kondisi pilihan. Dalam kisah Supinah ini nalurinya sebagai seorang perempuan normal sebenarnya ingin juga merasakan kenikmatan hubungan seksual. Namun lain dengan kenyataan yang ia alami, ia tidak dapat merasakan erotik seksual, hal ini dikarenakan hubungan seksual yang ia jalan dalam kondisi paksaan dan bertentangan dengan batinnya. Selanjutnya frekuensi dan bentuk ekspresi seksual, yang merupakan elemen penting kesehatan reproduksi dan seksual dalam kondisi ini, frekuensi dan bentuk ekspresi seksual yang terjadi pada Supinah ini didominasi oleh pasangan seksualnya.
  1. Makna Hubungan Seksual
Makna hubungan seksual bagi setiap individu itu berbeda, hal ini bergantung pada naluri alamiyahnya dalam berhubungan seksual dengan pasangannya. Pada kasus Supinah ini, makna hubungan seksual yang ia alami ini tidak memiliki arti apa-apa dalam tindakan seksualnya. Hal ini karena hubungan seksualnya dengan pasangan (baik dengan babe Ali, maupun dengan Yusup) ini tidak sesuai dengan keinginannya dan proses seksualitas juga dibawah tekanan dan tidak ada unsur rilex. Sehingga persepsinya tentang pasangan seksualnya, bahwa pasangannya tidak bisa memberikan kenikmatan pada hubungan seksual mereka. Meskipun hubungan seksual yang terjadi ini merupakan suatu pembuktian kejantanan dan keibuan pasangan.

  1. Dorongan dan kenikmatan seksual
Dorongan dan kenikmatan seksual yang dialami setiap individu itu tidak sama hal ini dipengaruhi juga oleh identitas seksual yang terbentuk. Identitas seksual yang terbentuk ini dipengaruhi juga umur, kelas, etnis dan ideologi gender yang dielaborasi setiap sistem. Pada kisah Supini ini identitas seksual pasangannya ini kontradiksi dengan identitas sosial Supinah. Misalnya dengan babe Ali yang berusia 43 tahun, dan terpaut jauh dengan Supinah yang baru berusia 17 tahun, jarak usia yang terpaut jauh ini mempengaruhi dorongan seksual. Kondisi dan usia Supinah yang masih muda dan menarik menimbulkan dorongan seksual yang kuat bagi babe Ali dalam hubungan seksual. Lain halnya dengan Supinah dorongan untuk berhubungan seksual itu sepertinya tidak selayak wanita normal pada umumnya. Hal ini disebabkan kondisi seksual itu tidak mendukung. Sehingga persepsi tentang kenikmatan seksual juga tidak memiliki arti yang mendalam dan tidak merasakan kenikmatan seksual yang sesungguhnya.


II.        Seksualitas dari Sudut Pandang Tradisional
Seksualitas adalah konsep yang meliputi kemampuan fisik seseorang dalam menerima rangsangan dan kenikmatan seksual serta pembentukan identitas seksual dan gender yang melekat pada prilaku seksual yang dipahami oleh individu maupun masyarakat. Konsep seksual di Indonesia sebagian besar berasal dari India dan selebihnya berasal dari tradisi masyarakat tradisional. Pada saat itu, seks tidak dihubungkan dengan moralitas tetapi sebagai suatu yang alami seperti kebutuhan akan makanan dan minuman. Bukti-bukti keterbukaan terhadap seksualitas terlihat pada pahatan di canti-candi India yang menunjukkan berbagai posisi hubungan seksual
Kebudayaan jawa sangat dipengaruhi oleh kebudayaan hindu, seat centinu sebuah mahakarya sastra jawa yang terdiri 12 volume dan ditulis pada awal abad 19 masehi oleh Sultan Pakubuwono V secara terbuka membahas seksualitas. Salah satu cerita menggambarkan bagaimana tiga bersaudara berbagi informasi dan pengalaman mereka saat berhubungan seksual dengan seorang laki-laki yang bermalam dirumah mereka yang menarik perempuan bisa meminta, memulai dan menentukan posisi yang diinginkan saat berhubungan seksual. Mereka tidak takut untuk meminta laki-laki agar mereka bisa mencapai orgasme. Hal ini sangat berbeda dengan konsep seksualitas pada masa modern, dimana perempuan diharapkan tidak mengekspresikan kebutuhan seksualitas mereka termasuk meminta atau memulai hubungan seksual. Sebelum penyebaran agama Islam dan Kristen. Hubungan seksual pra-nikah diperbolehkan diKalimantan Utara dan Indonesia Timur, di dua wilayah tersebut berkembang pemahaman yang salah bahwa hubungan seks dengan “perempuan sehat” dapat menyembuhkan seorang pria dari penyakit kelamin karena dia telah mengembalikan “makhluk asing” ke perempuan tersebut.
Pada masa perdagangan, laki-laki bersedia menahan sakit dengan memasang benda-benda, seperti pin logam, roda-roda, taji atau kancing ke penisnya, praktek ini masih dilakukan dibagian barat laut Kalimantan, di Makasar. Praktek ini dapat ditekan sehubungan dengan kedatangan Islam, tetapi diToraja Sulawesi (non-Islam) kegiatan melukai penis masih dilakukan hingga akhir abad 20.
Reformasi Islam pada abad 19 dan awal abad 20 membawa perubahan sosial besar di Idonesia. Sebagai cotoh konservatisme seksual dominan disumatera karena gerakan reformasi Islam paling kuat terjadi disini, sedang Indonesia Timur dimana gerakan reformasi Islam lemah sikap liberal terhadap seksualitas masih berlaku.

III.     Mitos-mitos yang Merugikan Seksualitas Perempuan
Burns dkk (1997) memaparkan beberapa mitos yang merugikan seksualitas perempuan, mitos-mitos ini dan efek-efek yang merugikan peran gender, menjadikan perempuan tidak memiliki kontrol terhadap kehidupan seksualnya, sehingga mereka menjadi rentan terhadap problem seksual.
  1. Tubuh perempuan itu memalukan
Seorang anak perempuan dalam masa pertumbuhan, diliputi rasa keingintahuan yang besar terhadap tubuhnya. Ia ingin tahu nama bagian-bagian tubuh dan mengapa berbeda dengan anak laki-laki. Bila orang tua mengajarnya bahwa tubuh perempuan itu “memalukan” ia akan sulit bertanya mengenai tubuhnya saat memasuki masa puber, dia mungkin akan sangat malu untuk bicara mengenai menstruasi seks kepada petugas kesehatan.
  1. Kebahagiaan perempuan tergantung pada keberadaan laki-laki
Asumsi bahwa kebahagiaan perempuan hanya bila bersama laki-laki, sering digunakan sebagai senjata untuk mengatur kehidupan perempuan dan bahkan digunakan untuk justrifikasi perkosaan.
  1. Tubuh perempuan milik laki-laki
Banyak masyarakat memperlakukan perempuan seperti barang milik ayah atau suami, saat kecil ia menjadi milik sang ayah yang bisa menikahkannya dengan siapa saja yang dikehendakinya dan meminta mengerjakan apa saja yang dimintainya, layaknya sebuah barang, calon suami meginginkan calon istri yang suci dan belum ternoda, sehingga keperawanan menjadi tuntutan, setelah menikah, suami merasa berhak memanfaatkan tubuh istrinya untuk mendapatkan kesenangan yang diinginkan.
  1. Perempuan kurang memiliki hasrat seksual
Perempuan sering diajarkan bahwa salah satu tugasnya adalah melayani kebutuhan seksual suami. Contoh ilustrasi pada 18 Januari 2004, metro TV menampilkan seorang perempuan degan tiga anaknya yang masih kecil, perempuan tersebut terpaksa meninggalkan ketiga anaknya karena ia diancam suami  yang marah akibat ia minta suami untuk bayar hutang di warung terdekat tetapi suami mengacuhkannya, pada malam harinya ketika suami ingin berhubungan seks perempuan tersebut menolak.
  1. Sunat perempuan mencegah perempuan menjadi nakal
Praktik sunat perempuan merupakan refleksi konstruksi sosial dari seksualitas, dimana laki-laki memiliki kewenangan untuk menentukan dan mengontrol seksualitas dan organ refroduksi perempuan praktik ini diterima sebagai cara untuk mencegah perempuan menjadi nakal (CPPS-UGM 2003). Bahaya dari sunat perempuan meningkat dengan dilakukan secara medis bidan sebagai pelaksana cenderung menggunakan gunting untuk memotong bagian kelamin perempuan (biasanya telitoris), sedangkan tenaga tradisional seperti dukun bisanya menggunakan pisau lipat yang digunakannya untuk kegiatan simbolik.

 

Artikel Terkait :


Stumble
Delicious
Technorati
Twitter
Facebook

0 komentar:

 

Tempat Download, Bisnis, Tips & Trick Copyright © 2012 tujeh is Designed by Arsal, The Blog Full of Sharing