Rabu, 18 April 2012

FILSAFAT KONTEMPORER DI BARAT DAN ISLAM



FILSAFAT UMUM

BAB I

FILSAFAT KONTEMPORER DI BARAT DAN ISLAM             

Membincang terma filsafat, di dunia Islam, baru berucap “A” bahkan belum apa-apa statement negatif istilah kafir, zindiq dan musyrik merupakan konsekuensi logis yang secara sadar harus kita terima dengan penuh lapang dada. Mungkin tidak semua-selamanya, namun paradigma ini masih mayoritas sampai sekarang. Apalagi, jika sudah masuk dan bersentuhan dengan terma-terma asing (baca;Barat), entahlah ada anggapan apa? Darah menetes mungkin salah satu solusi.

Di dunia lain, Barat, filsafat adalah menu utama masyarakat, nutrisi penting dalam menentukan langkah maju. Hal ini lebih dikarenakan, paradigma berfikir mereka terbuka terhadap peradaban luar, dengan pra-syarat rasional khususnya filsafat. Oleh karena itu, di sana filsafat mampu tumbuh-berkembang dengan suburnya. Perkembangan ini bisa kita lihat dengan kasat mata; menjamurnya aliran-aliran filsafat: strukturaslisme, post-strukturalisme, semiotika, feminis, modernitas sampai post-modernitas. Selain itu, kemajuan teknologi, stabilitas politik, ekonomi dan keamanan sudah merupakan bukti konkrit. Terlepas dari sisi spiritual bagaimana?

Pada makalah sederhana ini, penulis akan berusaha mendeskripsikan filsafat kontemporer di Barat dan Islam. Memaparkan secara deskriptif beberapa aliran/sekte filsafat dan filsuf-filsuf, serta pemikirannya. Bagaimana imbas hal ini terhadap Islam di era kontemporer, masa kebangkitan? Dengan harapan deskripsi sederhana ini dijadikan sebagai motivasi ke arah pembaharuan, sebuah proses yang terus berjalan dan berjalan
Filsafat Barat di Era Modern-Kontemporer
Apakah itu filsafat? Apa batasan modern-kontemporer? Pertanyaan sederhana ini pasti muncul serta-merta, ketika membincang subterma ini. Filsafat, secara etimologi merupakan kata serapan dari Yunani, Philoshopia, yang berarti ‘Philo’ adalah Cinta, sedangkan ‘shopia’ berarti kebijaksanaan atau hikmah. Jadi dapat kita tarik konklusi, cinta pada kebijaksanaan ilmu pengetahuan itulah filsafat. Namun, ketika kita tilik dari segi praktisnya, berarti alam pikiran atau alam berfikir, berfilsafat artinya berfikir secara mendalam dan sungguh-sungguh.

Sedang kata “kontemporer” sendiri mempunyai korelasi sangat erat dengan “modern”. Dua kata yang tidak mempunyai penggalan masa secara pasti. “komtemporer” adalah semasa, pada masa yang sama dan kekinian . Semenatara “modern” adalah kini yang sudah lewat, tapi bersifat relevansif hingga sekarang. Karena tidak ada kepermanenan dalam era kontemperer, modern yang telah lewat dari kekinian tidak bisa disebut kontemporer.


Dalam hubungannya dengan filsafat barat, istilah modern-kontemporer, bertitik tolak dari kritik Immanuel Kant (1724-1804 M.) terhadap pengetahuan atau ilmu pengetahuan. Dialah filsuf pertama yang secara sistematis telah melakukan kritik atas pengetahuan, dia hendak juga meninggalkan penggunaan akal secara dogmatis tanpa kritis. Dengan imbas terjadi dikotomi antara ilmu pengetahuan dan filsafat. Dengan ini ilmu pengetahuan dapat dikembangkan dengan terbuka-bebas sesuai fungsionalnya tanpa harus pulang pada sang induk, filsafat. Demikian halnya filsafat, tumbuh-berkembang dengan sangat cepat serta mengalami pergeseran dan modifikasi. Hingga sekarang kita bisa melihat dengan mata telanjang warna-warni aliran-aliran filsafat di Barat, yang dominan pengaruhnya untuk rujukan primer, guna melanjutkan masyarakat mereka itu
Pada era “modern”—dilewati bangsa Barat pasca Immanuel Kant, dua setengah abad yang lalu—bangsa Barat hidup dengan konsep sistem nilai baru, struktur sosial-budaya pun sama, dengan sebelumnya pra-syarat Rasional, juga dengan ciri-cirinya yang orisinil. Sejauh yang terkait pemikiran filsafat barat kontemporer secara periodik, ada beberapa aliran pemikiran yang dominan yang semarak. Namun, penulis hanya memaparkan tiga aliran dari semuanya
.Pertama, tipologi strukturalisme. Tipologi ini memusatkan perhatiannya pada masyarakat sebagai sistem, di mana fenomena-fenommena tertentu menggambarkan “suatu kenyataan sosial yang menyeluruh.”, atau pada landasan epistemologi (canguilhen) akan menggeser inti bahasan dari pemikiran esensialis tentang masyarakat dan pengetahuan kepada wacana yang melihatnya sebagai ciri-ciri struktural fenomena ini, baik ciri differensial atau pun relasional. Oleh sebab itu, sejarah ilmu tidak lagi merupakan ungkapan pemikiran; akan tetapi, melalui suatu konfigurasi epistemologis, sejarah membangun kerangka intelektual dengan maksud memaham pemikiran ini. Selain itu, perubahan empiris masa kini dari masyarakat atau individu bisa mengubah makna masa lalu. Masa lalu tidak bisa dipahami melalui pengertian yang dimilikinya sendiri sebab di era sekarang, masa lalu itu dipahami dengan menggunakan pengertian-pengertian masa sekarang.

Tipologi ini diwakili oleh Gaston Bachelard, seorang ahli epistemologi, ahli filsafat ilmu dan teoritisasi tentang imajinasi. Dia adalah tokoh kunci dari generasi strukturalis dan post-srukturalis di era sesudah perang. George Canguilhem, pelopor sebuah filsafat pengetahuan, rasionalitas dan tentang konsep-filsafat dengan landasan yang lebih kental. Menurut Foucault, di sisi lain, pemikir berkarakter rendah hati dan low profil ini sangat memiliki pengaruh pada pendekatan struktural terhadap sejarah, marxisme dan psikoanalis.

Selanjutnya, bapak psikoanalis, Sigmund Freud (1856-1939 M.) merupakan sosok yang amat kontroversial dengan hipotesanya yang amat mengerikan. Khususnya bagi kaum teolog- yang melihat frued hanya sebagai ateis, materialis dan pan-sexualis. Meskipun begitu, dunia berhutang atas kecermelangannya dalam menemukan psikoanalis melalui analisis terhadap gejala-gejala, yang sampai pada saat itu (masa hidup frued), dianggap sebagai hal yang teranalis seperti mimpi dan selip lidah (igau) Selain para pemikir di atas, masih dapat kita jumpai para pemikir semisal al-Thuser (1918-1990 M.), Pierre Bourdieu (1930-1982 M.), Jacques Lacan (1901 M.), dan masih banyak lagi tokoh structuralis lainnya.
Tipologi kedua, Post-Strukturalisme. Pada fase ini, pemikiran diwarnai dengan varietas pemahaman dalam berbagai segi, sekaligus meninjau tulisan sebagai sumber subjektivitas dan kultur yang bersifat paradoks, yang sebelumnya merupakan hal yang bersifat sekunder. Ketidakpuasan Sausure akan pra-anggapan tertentu tentang subjektifitas dan bahasa (misalnya, pengutamaan wicara dibanding dengan tulisan) menuntut akan munculnya pemikiran ini.
Tentang “Yang lain” dan hubungan antara subjek dan objek, mendapat posisi tersendiri dalam post-strukturalisme yang notabene-nya terwarisi oleh konsep Nietzche (1844-1900 M.) sebagai salah satu orang yang mewakili tipologi post-structural, seorang filsuf destruktif. Dengan bangga ia menyebut filsafatnya sebagai filsafat destruktif. Seolah orang yang sedang kesurupan. Nietzche mengkritik habis hampir semua relief-relief kebudayaan barat. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika selama bertahun-tahun orang bersikap sinis terhadap tulisan-tulisan Nietzche.Dengan menawarkan beberapa konsep idealisme; nihilisme, kehendak untuk berkuasa, ubermenech dan kembalinya segala sesuatu, bagi Nietzche, prinsip yang diusulkan sebagai suatu kebenaran koheren dan mendasar, beraneka ragam fakta serta penampilannya adalah bersifat idealis. Dalam tataran skema menurut Nietzche, segala sesuatu-baik dalam bentuk redaksionisme suatu esensi maupun teleologi¬¬- tujuan akan bermuatkan sebentuk idealisme.
Selanjutnya adalah Michel Foucault (1926-1984 M.), seorang sejarawan, psikolog dan sexolog yang paling cemerlang pada masanya. Foucault juga seorang Nietzchean dan Fruedian. Tidak berselang jauh darinya adalah Jacques Derida (1930-2003 M.). Seorang filsuf asal al-Jazair dan pemikir garda depan tentang kajian-kajian filsafat dekonstruktif. Melalui karya magnum opus-nya, of gramatology atau dalam versi arab berjudul fi Ilmi al-Kitabah. George Batailk, Roland Barthes, Uberto Uco dan banyak lagi filsuf-filsuf post-strukturalis yang tidak mungkin penulis sebutkan secara detail pada kesempatan ini.

Tipologi ketiga, post-marxisme. Tipologi ini merupakan elaborasi lebih lanjut dari marxisme dengan karakter dan corak pemikiran yang sangat berbeda. Mereka menggunakan Marx untuk untuk mengembangkan sebuah strategi kritik yang sebenarnya bersifat emansipatoris, tepatnya di tujukan kepada ‘kapitalisme modern’. Dalam hal ini, Marx dipresentasikan dengan lebih elegan, bahkan sesekali mereka mengecam tanpa santun kepada pendahulunya itu. Mereka menganggap bahwa marxisme awal telah gagal, kacau balau, menafsirkan “Rasionalitas Sistem” dan “Rasionalitas aksi”, sebagai bukti konkrit tidak selarasnya antar sistem dan kehidupan
Post-marxisme menerima dengan sadar keterlibatan politik Marx, tetapi menolak mentah-mentah penekanan Marx bahwa ekonomi adalah yang paling menentukan untuk suatu kesejahteraan. Statement ini, menurut mereka sudah tidak relevan, harus dikembangkan lebih jauh-luas secara konkrit melalui stabilitas politik, ekonomi, keamanan dan sosial-budaya dengan merujuk pada ruh emansipatoris di dalamnya.

Langkah praktisi yang mereka tempuh adalah dengan merumuskan unsur-unsur normatif, seperti: teori bahasa, dengan penuh harap terbentuknya komunikasi yang standar minimal. Maka, komunikasi harus tak terdistorsi dan secara bebas diungkapkan, sehingga dapat mencapai kesepakatan; kesepakatan yang mensyaratkan “pengenalan antarsubjektif”. Oleh sebab itu, bila komunikasi secara sistematis tidak berhasil, maka yang terjadi adalah bentuk bahasa yang sakit.

Selanjutnya, yakni evolusi masyarakat yang dimaksudkan untuk memberikan landasan suatu kerangka normatif, demi realisasi minat emansipatoris. Tidak absah suatu negara ketika tidak mampu melindungi rakyatnya dari krisis; ekonomi, politik, dan nonsens dalam men-suport atau memberikan kesejahteraan bagi rakyatnya.
Obsesi kebebasan, kemanusian dan solusi problematika atas kapitalisme modern adalah keniscayaan. Hak-hak manusia di suatu negara harus lebih diutamakan, selain itu perjuangan untuk menyelamatkan manusia agar mereka tak tersingkir di mata hukum. Hal ini dengan konsekuensi pra-syarat bahwa setiap individu harus berkewarganegaraan, karena hilangnya kewarganegaraan berarti hilang status legalitas, status legalitas terhadap semua hak dan kewajiban.
Post-Marxisme juga sangat melaknat dan membuang jauh ke tong sampah sistem pemerintahan yang totalitarianisme, apalagi sampai despostis. Para filsuf yang mempunyai kecenderungan berfikir post-Marxisme adalah para pemikir seperti Hannah Arendt, Jurgen Habermas dan Theodor Adorno.
Modenisasi Pemikiran Arab-Islam
Filsafat di dunia Islam merupakan benih pembaharuan, meski hasil asimilasi dari budaya asing. Namun sangat disayangkan tak pernah bernafas panjang. Di dunia Islam timur, filsafat lenyap atas jasa Hujjatul Islam al-Imam al-Ghozali, dengan kitabnya Tahafut al-falasifah. Sedang di dunia Islam barat, matinya filsafat setelah wafatnya Ibnu Rusyd (1198 M.) berakhir pula pengaruh filssafat paripatetik. Setelah ini, filsafat secara geografis berpindah ke Negri para Mullah, Iran, dengan corak gnostik-nya sebagai akibat dari pengaruh metafisika Yunani dan Hindu. Maka kita bisa mengenal Ibn Arabim, al-Hallaj, dan Suhrawardi al-Maqtul sebagai pendekar filsafat gnostik Persia ternama. Kemudian Islam mengalami masa skolastik (kegelapan) yang berlangsung kurang lebih dua abad.



Masa gelap, masa yang melelahkan. Bak se-ekor Harimau yang terjaga dari pulas, Islam terbangun dengan infasi Napoleon Bonaparte di Mesir tahun 1798 M, dengan disusul berdirinya negri-negri independen yang mengatasnamakan Nasionalisme. Sementara dinasti Ottoman sebagai representasi kekuatan Islam kala itu, telah dilumpuhkan dan digerogoti luar-dalam.
Disisi yang lain, datangnya Napoleon merupakan titik tolak pembaharuan pemikiran Arab-Islam. Kedatangan kolonialis-imperalis disambut dengan mesra oleh Muhammad Ali Pasha seperti kala itu untuk bekerja sama, khususnya dalam perdagangan. Merasa kurang, guna membangun negaranya, maka pemerintah Mesir menetapkan kebijakan untuk mengutus delegasi ke Perancis untuk mempelajari kemajuan Barat, kemudian ditransformasikan ke Mesir. Rihlah Ilmiah inilah yang akhirya menjadi titik tolak kemajuan Arab-Islam, khususnya Mesir. Baik dari segi fisik (bangunan dan tata kota), maupun keamanan, ekonomi dan keilmuan.
Rifa’at at-Tahthawi adalah salah satu delegasi yang dikirim ke Perancis. Sepulang dari Paris, dengan bekal yang diperoleh, Rifa’at berdiri mengusung bendera modernisasi di tanah seribu menara. Ini diawali dengan penerjemahan secara gencar literature-literatur barat yang berpusat di madrasah Alsin . Selain itu, rifa’at juga membuka sekolah-sekolah dengan system baru, tanpa biaya alias gratis. Terobosan baru pun ia lakukan dengan mendirikan sekolah-sekolah bagi para perempuan (Madaris li al-banat). Tak lama kemudian jumlah sekolah atau madrasah meningkat secara drastis di seluruh saentro Mesir, gairah intelektual meningkat. Hasil praktisi ini digambarkan secara apik lewat bukunya “ al-Mursyid al-Amin li al-Banat wa al-Banin” sebagai pegangan generasi muda Mesir dalam menekuni dunia pendidikan. Salih majdi, salah satu anak didik rifa’at, berasumsi bahwa kitab ini secara resmi beredar setelah wafatnya rifa’at yang kemudian dilanjutkan oleh sang putra mahkota, Ali Fahmi Rifa’at. Namun, realita membuktikan bahwa karya tersebut terbit satu bulan sebelum wafatnya rifa’at.


Tidak berpaut jenjang waktu lama, muncullah para pemikir rekonstruktif lain semisal Jamal al-Din al-Afghani dan Muhammad Abduh. Duet maut antara guru dan murid ini melahirkan pendapat pro-kontra di kalangan khalayak. Meski demikian, pegaruh mereka sudah terlampau luas dan semarak. Mereka sepakat guna memerangi keterbelakangan dan kolonialisme yang didasari dengan penafsiran-penafsiran rasionalis terhadap ayat-ayat Tuhan. Dengan piranti modern dan prasyarat rasional, mereka mengangankan sebuah agama/tradisi yang hidup dan relevan seiring dengan kontinuitas nan selalu mengirinya, (I’adah al-bunyat min jadid). Tidak senada dengan perspektif mayoritas ulama (kaum tradisionalis) yang lebih mendambakan “pernyataan ulang” atas kebesaran tradisi masa lampau. Menurut kaum tradisionalis, bahwa semua permasalahan dan segala problematika yang ada telah dibahas secara tuntas oleh para pendahulu
Selanjutnya, secara umum pemikiran Arab-Islam dapat digolongkan dalam dua mainstrem besar. Yakni, mereka yang pro-barat dan mereka yang kontra/ antipati terhadap metodologi Barat dimana yang pertama berwarnakan dua tipologi khusus, sementara untuk yang kedua hanya ada satu tipologi yang disebut ideal-totalistik.

Pertama, pro-Barat. Pada tataran ini, reformis-dekonstruktif adalah sebuah tipologi pemikiran yang merupakan presentasi nyata dari mereka yang terinklinasi secara sadar oleh filsafat barat sebagai kerangka metodologi pendekatan mereka. Cendekiawan semisal Muhammad Arkoun, Abid al-Jabiri, Hasan Hanafi, dan Nasr Hamid Abu Zaid termasuk dalam golongan ini dimana filsafat post-strukturalis Barat merupakan pangkal kembalinya pemikiran mereka. Selain itu, reformis-rekonstruktif juga acapkali di kategorikan dalam golongan ini sebagai akibat dari kecenderungan metodologis mereka terhadap Barat. Namun di satu sisi lain, masih menjadikan turas sebagai pijakan pergerakan mereka dalam modernisasi. Rifa’at al-Tohthowy, al-Afghani, Muhammad Abduh, dan al-kawakibi adalah sebagian dari mereka yang mewakili tipologi pemikiran ini.

Kedua, kontra/anti Barat. “al-awdah ila al-manba’” merupakan jargon yang mereka serukan sebagai acuan pergerakan mereka. Bahwa Islam adalah agama, budaya sekaligus peradaban yang telah mencakup tatanan social, politik dan ekonomi telah mengantar mereka untuk mencapai kegemilangan yang tempoe doeloe sempat ditorehkan oleh Nabi dan para sahabat. Hal inilah yang memberikan asumsi bahwa barat tak ubahnya momok, dan apa yang telah digapai oleh modernitas pun (sains dan teknologi) tak lupa mereka nisbatkan sebagai hasil “masa gemilang” yang kemudian melegitimasi kebenaran mereka menerima menerima modernitas. Para cendekiawan yang memiliki kecenderungan ideal-totalistik ini dapat kita temukan dalam diri M. Ghozali, Sayyid Qutb, Anwar Jundi, serta Said Hawwa yang berorientasikan pada gerakan islam politik. Isu kontemporer ‘Trans-nasionalisme’ juga mungkin digolongkan pada aliran ini.

Epilog.

Gerak radikal pemikiran barat yang menyematkan Immanuel kant sebagai puncak modernisasi filsafat menorehkan berbagai macam pertimbangan humanis-rasionalis yang semena-mena tidak boleh dialienasikan, apalagi dinilai sebagai wujud kolonialisme modern atas dunia Islam. Feminisme, rasionalisme dan modernisme adalah fakta perjuangan cendekiawan muslim yang berupaya mengeluarkan khazanah pemikiran Islam dari stagnansi masa skolastik dimana agama, lapukan sejarah dan literatur keilmuan telah menjadi Tuhan, masuk dalam ranah untouchable.Ironis, jika pertarungan ideologi yang digambarkan oleh al-Jabiri atas dunia Arab-Islam masih saja dipahami secara literal dan melahirkan sikap antipati terhadap perkembangan pemikiran Barat. Angan mitologis atau mistisisme yang telah menghantui modernisme Islam sudah selayaknya dihancurlantakkan lalu menaruh sikap inklusif sebagai jembatan pembaharuan.

BAB II
JURNAL TEOLOGI STULOS KONTEMPORER
Manusia adalah absolut, mungkin akan memilih apapun juga yang dikehendaki sesuka hati, termasuk tahayul. Ini adalah konsekuensi, ketika akal adalah tuan dan homo mensura dari Protagoras adalah doktrinnya, maka ironi tersebut adalah hasilnya.Faktanya, liberalisme dan modernisme sangat bersahabat dan menyenangkan. Namun dalam analisis akhir, kita mendapatkan bahwa mereka telah membuang kepercayaannya kepada Allah dan secara actual telah mengambil sains dan akal sebagai Allah. Mereka mengambil posisi yang nampaknya ingin mengatakan bahwa tidak ada Allah dan semua yang lain dapat diterima. Ini adalah sebuah tindakan melawan Allah dan kekristenan yang tidak bertanggungjawab dan diskriminatif. Walapun mereka masih memelihara bentuk-bentuk tertentu tentang kebaktian, bahkan masih memelihara yang digunakan ‘gereja’ dan ‘kekristenan’ dan masih giat dalam misi dan mengutus, namun pada dasarnya kepercayaan mereka adalah doktrin: fatherhood of God dan brotherhood of man. Ketenangan dan hidup bersama dengan damai adalah motif dasar keagamaan mereka. Agama bagi mereka hanyalah sebuah pakaian kehidupan moral dalam masyarakat. Hal itu adalah baik bagi manusia untuk memilikinya, tetapi sebenarnya tidak mutlak.Konsekuensinya, kelompok ini tidak percaya lagi pewahyuan, penebusan-pengganti, dan mujizat. Mereka berbicara tentang sejarah sebagai perkembangan natural dengan menaruh kepercayaan absolut di dalam hakikat manusia. Mereka juga percaya pada kesempurnaan, kemutlakan, ketidakterbatasan rasionalitas manusia. Di dalam agama dan filsafat, mereka mengambil posisi sinkritisme, dengan menyarankan Kristus hanyalah sebuah simbol, Dia juga eksis di luar kekristenan. Bagi mereka, gereja hanyalah institusi sosial belaka; yang harus bersifat demokratis bahkan dengan kepercayaan-kepercayaannya. Biarkan anggota-anggotanya memutuskan apa yang mereka ingin percayai dengan semangat liberalisme, dan masing-masing anggota memutuskan pengakuannya sendiri. Sebagai konsekuensinya,mereka kehilangan doktrin ineransi adan infalibilitas kitab suci. Di dalampengertian seperti itu, mereka sudah memusatkan humanisme sebagai fondasi teologi. Bagi mereka, manusia adalah pusat alam semesta, tuan dan hakimagung bagi diri mereka sendiri.Pemikiran pascamodernisme dimulai pada tahun 60-an dan 70-an. Ini adalah









PENILAIAN KRITIS
Akibat kegagalan modernitas, kebutuhan moral dan kebudayaan yang gagal.Di tengah-tengah keterasingan dan frustrasi manusia, gereja merealisasikan ketidakberdayaannya dengan nilai-nilai moral dan tradisi imannya; hal tersebut sampai pada langkah membuang tradisinya dan dasar in toto dan mengadopsi antinomianisme ekstrim dan relativisme absolut. Mendapatkan iman Kristen tidak dapat diterima pada pikiran modern, banyak teolog berusaha menghindari, bahkan menolak setiap hal tentang iman dan kemutlakan untuk memenangkan yang lain. Mereka percaya walaupun manusia dapat berbuat dosa, namun kesalahan tersebut kebanyakan adalah melanggar hukum dan bukanlah dosa melawan Allah. Benar atau salah adalah relatif dan situasional, mereka juga memisahkan diri mereka dari rasionalistas demi menemukan kebutuhan emosi yang irasional. Sehingga irasionalitas dan relativisme menjadi mutlak. Bagi mereka, tidak ada kekekalan selain kekinian yang temporal. Moto mereka adalah, “pengalaman seseorang adalah lebih berharga daripada kekekalan,” ini adalah suatu ekspresi mendasar dari eksitensialisme ekstrim.Faktanya, pascamodernisme adalah pemberontakan pemikiran manusia melawan otoritariansme dari rasionalisme. Hal itu menyepak kebelakang, memukul ke kiri dan ke kanan pada fondasi humanisme, merambat ke dalam telogi Kristen secara tidak bernama dan menjadi tulang punggung dari banyak orang di sekeliling teologi dan parafaith. Mereka menjadi begitu panteistik
dan panentesistik dalam hakikat dan menjadikan diri mereka sendiri sebagai Allah, membual atas keunggulan mereka, meninggalkan firman dan membangun sekte sendiri bahkan menjadi pemujaan. Banyak gerakan karismatik kontemporer dan pentakostalisme secara tidak sengaja mengadopsi jenis filsafat ini sebagai pijakan pemikiran mereka dan menghasilkan otoritarionisme yang tidak dapat dipertanggungjawabkan. NEO ORTODOKSI Teologi Neo-Ortodoks dimulai pada permulaan abad ke 20 M dan menghilang pada tahun 1970-an dan 1980-an. Faktanya, Neo-Ortodoks adalah satu dari banyak pemikiran teologis yang mempengaruhi sarjana Kristen pada abad 20 yang lalu. Dimulai oleh teolog Swiss, Karl Barth, yang bereaksi terhadap liberalisme dan modernisme pada zamannya, yang menemukan keadaan gereja yang tak tertolong lagi dalam menghadapi post World Ward One’s devastation. Kemudian Barth dengan latar belakang reformednya menyodorkan sejumlah pesan berdasarkan surat Paulus untuk






JURNAL TEOLOGI STULOS
Orang Roma dalam menemukan jarak yang mutlak antara Allah dan manusia, waktu dan kekekalan, ketidakmutlakan manusia dan kemutlakan Allah. Dia menyarankan bahwa gereja harus kembali pada Alkitab dan kedaulatan Allah.Dia menekankan ketidaklayakan manusia dan kebutuhan akan anugerah Allah. Zamannya melanjutkan pemikirannya dan membuat teologi krisis yang berfokus pada pertemuan pengalaman eksistensial dengan Allah. Pemikiran mereka pernah menjadi diskursus teologi dengan jaya dan menjadi favorit putra gereja. Meskipun demikian, kebanyakan orang yang bernasib sial adalah ketidaksempurnaan mereka dan tidak dapat menentukan penggambaran Firman Tuhan, di mana Neo-Ortodoks menekankan
kemutlakan kebebasan Tuhan dan berakhir dengan menyangkal kekuasaan yang tak terbatas dari wahyu ilahi di Alkitab menjadi suatu teologi yang tidak mempunyai dasar absolut dalam Firman Tuhan. Dalam menyatakan kemutlakan kebebasan Tuhan, Barth menyatakan bahwa Firman Tuhan tidak dapat dibatasi dalam pengungkapkan kata-kata di Alkitab. Dia kemudian mulai menyatakan bahwa kemutlakan anugerah Allah adalah didasarkan dari cara kerja-Nya. Dia dan pengikutnya mempunyai keraguan pada kemutlakan keadaan yang sebenarnya dari tulisan Alkitab, dan mengambil narasi alkitabiah sebagai hikayat untuk menekankan maksud fungsional dan eksistensial penulisan Alkitab sebagai ganti intisarinya. Mereka menyatakan bahwa Alkitab bukanlah Firman Tuhan, tetapi hanya kesaksian-kesaksian firman Tuhan yang menjadi perkataan Tuhan yang hidup di dalam gereja melalui kotbah pastoral. Seperti itulah, mereka menyangkal ketidakkeliruan dan ineransi Alkitab.Permasalahan-permasalahan mereka terletak dalam fakta bahwa mereka menggunakan terminologi reformed tradisional dan teologi ortodoks dalam kerangka kerjanya, kemudian memasukkan pemikiran eksitensial untuk mengembangkan pengertian teologis mereka. Kelihatannya, mereka menukar mutiara-mutiara dengan mata ikan. Pada akhirnya, pemikiran mereka mengikuti jalan liberalisme yang mereka lawan sendiri dan menjadi satu cacat dalam kegagalan teologis zamannya. Banyak kaum Fundamentalis dan Injili
mencap mereka liberal.



ISI-ISU TEOLOGI KONTEMPORER
Galibnya, dalam pembahasan ma’rifatullah, soal seperti ini dilontarkan oleh orang-orang yang baru menelusuri padang luas ini. Mereka akan bertanya, “Jika Anda mengatakan bahwa segala sesuatu memiliki pencipta, kini katakan kepada kami siapakah pencipta Tuhan itu?” Anehnya, acapkali soal seperti ini terurai pada sebagian ucapan-ucapan filsuf Barat yang menandakan hingga batas mana mereka berbuat dan berstatus Awal dalam pembahasan filsafat .Bertrand Russel, salah seorang filsuf ternama Inggris dalam bukunya “Why I am Not a Cristian?” (Mengapa Aku Bukan Seorang Kristian?)” berkata, “Aku beriman kepada Tuhan ketika aku berusia muda. Aku meyakininya melaui argumen kausalitas yang terbaik. Dan Aku melihat segala sesuatu yang ada di muka bumi ini memiliki sebab. Apabila mata-rantai sebab itu kita kaji, pada akhirnya kita akan sampai kepada sebab awal dan aku menamai sebab awal ini sebagai Tuhan. Akan tetapi setelah itu, aku meninggalkan kepercayaan ini. Lantaran aku berpikir; apabila segala sesuatu harus memiliki sebab dan pencipta, maka Tuhan juga harus memiliki sebab dan pencipta.”

Galibnya, dalam pembahasan ma’rifatullah, soal seperti ini dilontarkan oleh orang-orang yang baru menelusuri padang luas ini. Mereka akan bertanya, “Jika Anda mengatakan bahwa segala sesuatu memiliki pencipta, kini katakan kepada kami siapakah pencipta Tuhan itu?”
Anehnya, acapkali soal seperti ini terurai pada sebagian ucapan-ucapan filsuf Barat yang menandakan hingga batas mana mereka berbuat dan berstatus Awal dalam pembahasan filsafat .
Bertrand Russel, salah seorang filsuf ternama Inggris dalam bukunya “Why I am Not a Cristian?” (Mengapa Aku Bukan Seorang Kristian?)” berkata, “Aku beriman kepada Tuhan ketika aku berusia muda. Aku meyakininya melaui argumen kausalitas yang terbaik. Dan Aku melihat segala sesuatu yang ada di muka bumi ini memiliki sebab. Apabila mata-rantai sebab itu kita kaji, pada akhirnya kita akan sampai kepada sebab awal dan aku menamai sebab awal ini sebagai Tuhan. Akan tetapi setelah itu, aku meninggalkan kepercayaan ini. Lantaran aku berpikir; apabila segala sesuatu harus memiliki sebab dan pencipta, maka Tuhan juga harus memiliki sebab dan pencipta.”[1]
Namun, kita tidak berpikir bahwa seseorang yang paling tidak mengenal masalah-masalah filsafat yang berhubungan dengan pembahasan ma’rifatullâh dan dunia metafisika, akan bungkam dalam menjawab pertanyaan ini.
Pembahasan ini sangatlah jelas. Ketika kita berkata bahwa segala sesuatu memiliki pencipta, maksudnya adalah setiap sesuatu yang terjadi (hâdits) dan mumkin al-wujud. Dengan demikian, kaidah universal ini hanya berlaku pada sesuatu yang sebelumnya tidak ada dan kemudian ada, bukan pada wâjib al-wujud yang bersifat azali (tidak bermula) dan abadi (tidak berakhir). Satu wujud azali dan abadi tidak memerlukan pencipta sehingga kita bertanya-tanya; siapakah pencipta Sang Pencipta? Dia berdiri sendiri (qâ`im) atas Dzat-Nya sendiri. Dia tidak pernah tiada sebelumnya sehingga memerlukan sebab untuk diwujudkan.
Dengan kata lain, wujud Tuhan berasal dari wujud-Nya sendiri, bukan berasal dari luar Dzat-Nya. Dia tidak diciptakan sehingga ada pencipta-Nya. Ini dari satu perspektif.

Dari perspektif lain, sebaiknya Tuan Russel dan orang-orang yang sepaham dengannya mengajukan soal ini kepada diri mereka sendiri' yakni, dalam ungkapan "apabila Tuhan memiliki pencipta..", kata pencipta akan terulang. Apabila kita bertanya bahwa pencipta-nya pencipta itu siapa, niscaya akan berlanjut begitu seterusnya; dimana setiap pencipta memerlukan penciptanya entah sampai kapan. Inilah tasalsul (vicious circle) yang tak berujung, dan ketidakabsahan tasalsul ini sangatlah jelas.
Dan apabila kita sampai pada wujud yang keberadaanya berasal dari diri-Nya sendiri (mandiri) dan tidak memerlukan pencipta (baca: wâjib al-Wujud), Dialah Tuhan Sang Pencipta seluruh semesta raya ini.
pembahasan ini juga dapat diterangkan dengan pendekatan lain,. Ketika kita bukan seorang mukmin dan sepaham dengan apa yang diyakini oleh kaum materialis, kita tetap harus menjawab soal ini. Dengan menerima hukum sebab-akibat, segala sesuatu di alam ini adalah akibat dari sebab yang lain. Sementara soal serupa yang kita ajukan kepada orang-orang mukmin, juga kita ajukan kepada seorang materialis; bahwa sekiranya segala akibat adalah materi, lalu apa yang menjadi sebab wujudnya materi?
Mereka juga tidak memiliki alternatif lain dalam menjawab soal ini. Mereka akan berkata, “Materi azali yang senantiasa ada dan akan tetap ada. Materi azali ini tidak memerlukan sebab. Dengan ungkapan lain, ia adalah wâjib al-Wujud.
Atas dasar ini, kita melihat seluruh filsuf dunia, baik Ilahi atau materialis meyakini satu wujud azali. Suatu wujud yang tidak memerlukan pencipta dan senantiasa ada. Perbedaannya adalah kaum materialis beranggapan bahwa sebab awal ini hampa ilmu, pengetahuan, akal dan nalar. Dan mereka percaya, sebab awal ini memiliki jasad, terikat di dalam ruang dan waktu. Akan tetapi, bagi para fisuf Ilahi, Sebab Awal ini memiliki ilmu, kehendak dan tujuan. Mereka tidak percaya bahwa Sebab Awal ini memiliki jasad, dan terikat di dalam ruang dan waktu. Ia berada di atas ruang dan waktu.
Oleh karena itu, berlawanan dengan anggapan Tuan Russel yang berpandangan bahwa sekiranya ia mengucapkan selamat tinggal kepada orang-orang mukmin dan berada di barisan kaum materialis dan kabur dari cengkaraman soal ini, pertanyaan itu tidak akan membiarkannya lolos. Karena, kaum materialis juga percaya kepada hukum sebab-akibat dan berkata bahwa setiap peristiwa memiliki sebab.
Dengan demikian, solusi untuk memecahkan masalah ini adalah kita harus memahami dengan baik perbedaan antara wujud hâdits dan azali, mumkin al-wujud dan wâjib al-wujud, sehingga kita mengetahui bahwa yang memerlukan pencipta adalah wujud-wujud yang hâdits (yang terjadi) dan mungkin. Maksudnya ialah bahwa setiap yang tercipta, memerlukan pencipta. Namun, yang tidak tercipta, tidak akan memiliki pencipt




DAPTAR PUSTAKA




Ø  dk. Joseph Tong, “The Relation of Sovereignty of God, Belief, Religious  Orientation, and Locus of Control”, Ph.D. Diss. University of Southern California, 1978

Ø  fk-baiquni.goodforum.net/filsafat-f3/falsafah-islam-t69.htm


Artikel Terkait :


Stumble
Delicious
Technorati
Twitter
Facebook

0 komentar:

 

Tempat Download, Bisnis, Tips & Trick Copyright © 2012 tujeh is Designed by Arsal, The Blog Full of Sharing